YANG
TERAKHIR DATANG
Sekolah baruku, Evey,
berjarak enam blok dari flat. Sekolah yang pertama kali direkomendasikan Mr and
Mrs Joice sebagai SMA terdekat. Aku memang belum memiliki teman di kota ini dan
aku harap aku mulai mendapatkan teman dihari keduaku di sini.
Evey adalah sekolah
dengan bangunan khas jaman Victoria. Bangunan dari batu bata merah yang
tergencet di antara kantor notaris dan toko peralatan alat tulis yang selalu
ramai pembeli. Kebanyakan pembeli dari murid Evey sendiri.
Sesuai dengan susunan
bangunan di LES yang berdempet, sekolah ini tidak memiliki halaman luas kecuali
aula besar untuk mengikuti pelajaran olahraga secara bergantian. Selebihnya
hanya bangunan bertingkat dengan deretan kelas-kelas dan koridor lebar yang
saling berhubungan seperti labirin. Dari luar, tempat ini tampak seperti
bangunan lama yang biasa digunakan untuk pameran lukisan. Kecuali jika sempat membaca
plakat besar bertuliskan Sekolah Evey di dinding luarnya.
Hanya satu murid cewek
yang kukenal yang sudah berbaik hati mengantarku ke kelas kimia kemarin. Aku
sengaja terus mengingat namanya. Lebih baik tahu satu nama daripada tidak sama
sekali. Membuatku benar-benar merasa nyata menginjakkan kaki di sini.
Aku membuka lokerku.
Memandang pantulan bayangan wajahku sendiri di pecahan cermin kecil di dalam
loker baruku. Tidak, aku tidak dengan sengaja memasangnya di dalam loker, tapi
cermin itu sudah berada di sana sejak aku membuka loker itu untuk pertama kali.
Rambut rapi.Aku
menguncir rambut gelapku yang tebal dengan ekor kuda. Tatanan rambut 30
detikku. Bibirku pecah-pecah. Aku malas minum akhir-akhir ini. Baiklah cukup.
Aku hanya bisa menyelamatkan penampilanku dengan merapikan rambutku saja. Aku
mengabaikan pipiku yang semakin tirus karena kehilangan lima kilo berat badanku
selama dua minggu berada di LES. Aku menyambar daftar kelasku kemudian menutup
lokerku.
“Hei anak baru!”
seseorang menyapaku, aku berbalik dan melihat Ely sedang membuat rambut kriting
ikalnya yang panjang bergoyang-goyang seperti pegas di antara kedua bahunya
ketika dia berjalan.
“Hai Ely!” aku
menyapanya kembali.
Cewek kulit pucat itu
memakai kaos panjang warna kelabu dan menyandang tasnya dengan satu bahu.
“Kelas geometri hari ini kan?” lanjutnya.
Aku kembali menyusuri
daftar kelasnya dengan ujung jari. “Ya, jam pertama geometri. Kita sekelas?”
Ely mengangguk. “Aku
masih ingat daftar kelasmu kemarin. Jadi aku menghampirimu. Kita sekelas pagi
ini!” Ia berujar ceria.
Baguslah, aku tidak
akan sendirian. Anak baru memang selalu jadi tontonan. Memiliki satu teman
untuk berjalan rasanya normal. Kukira aku menyukai Ely, dia seperti Ron untuk
Harry Potter. Pertama kali aku menanyakan di mana kelas kimia, dia baru saja
keluar dari toilet. Rambutnya basah, dadanya naik turun cepat dan dia melompat
kaget saat aku menepuk punggungnya.
“Oh kau,” serunya waktu
itu sambil mencengkeram dadanya.
“Maaf aku
mengagetkanmu.”
“Tidak apa, ada apa?”
Ely menyipitkan matanya ke arahku cukup lama untuk menilai. “Kau baru?” Aku
mengangguk. “Dan kau dari?”
“Ann Arbor.” Jawabku
langsung. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal untuk berbohong waktu itu.
Dan tidak ada alasan untuk berbohong.
Mata Ely membulat. Aku
ingat saat aku menoleh ke belakang untuk memastikan mata membulat itu untukku.
Dan ternyata memang untukku. Karena tepat di belakangku hanya berdiri tembok
padat yang lembab.
“Wow,” serunya.
Ekspresinya sama seperti Ron saat pertama kali bertemu Harry Potter di dalam
kereta dan melihat sambaran petir tepat di dahinya. Aku tidak yakin apakah
bibirku yang pecah-pecah sama menariknya dengan itu. “Aku pernah ke stadion
Michigan dan bertemu cowok super hot
di sana.”
Aku menganga takjub.
Aku tidak tahu bahwa seseorang yang berasal dari Ann Arbor yang kebetulan punya
Stadion Michigan dan cowok super hot yang
sekarang tampak seperti Henry Cavil dibayanganku mampu membuat seseorang
terlihat seperti Harry Potter.
“Ada yang bisa aku
bantu?” tanyanya membangunkanku.
“Oh ya…,” aku membuka
jadwal kelasku lagi dan menyodorkan padanya. “Kau bisa membantuku menemukan
kelas Kimia?”
Ely mejawab ya dan
menggandeng tanganku ke kelas Kimia. Sementara dalam hati, aku berterima kasih
pada Stadion Michigan dan cowok Henry Cavilnya. Catatan : aku belum pernah
mengunjungi stadion Michigan.
XXX
Kelas geometri sudah
terisi belasan anak dan mereka sedang membuat kegaduhan seperti biasa. Empat
cewek dan dua cowok sudah pernah aku lihat di kelas kimia kemarin. Sisanya aku
belum pernah bertemu dengan mereka.
“Hei anak baru, kau mau
duduk di sebelahku?” celetuk cowok berambut pirang cepak. Wajahnya nyengir usil
sembari mengelus meja kosong di sebelahnya. Dia duduk di bangku dekat pintu
masuk. Kanan kirinya diapit cowok-cowok lain. Satu cowok yang duduk di belakangnya
tampak menonjol daripada yang lainnya. Badannya sebesar gorila.
“Frank berhenti
bermulut besar!” sahut Ely sambil memutar matanya padaku.
“Kaki katak, kau mau
berkencan dengan Frank sebelum dia mengajak kencan si anak baru?” sahut cowok
yang berbadan gorila.
“Oh, kau bermimpi Blake!”
Ely mengatakannya dengan tangan mengibas seperti sedang membuang permen karet
yang menempel di tangannya.
“Ely sayang kau pasti hanya
bermimpi untuk itu!” sahut anak perempuan berambut kastanye panjang, lurus dan mengkilat.
Dia duduk di atas meja sambil mengikir kuku kakinya. “Dunia akan hancur
terlebih dulu jika itu terjadi.” Tambahnya tanpa mengangkat wajahnya dari kuku
panjangnya yang menarik. Aku belum pernah bertemu dengannya.
Dia cantik. Warna
kulitnya seperti cewek-cewek yang berasal dari Florida. Mendapatkan matahari
penuh setiap hari. Wajahnya tirus dengan tulang pipi menonjol. Aku yakin agensi
model akan senang menerima cewek dengan wajah yang akan tampak bagus berada di
sampul majalah.
Aku melirik tanganku
sendiri kemudian mengepalkannya lagi. Menyembunyikannya di balik punggungku.
Aku memang tidak sepucat Ely, tapi tetap saja warna kulitku tidak menarik.
“Thanks Giselle! Apa
kabar kuku kakimu?” balas Ely.
Dia mengangkat wajah dari
kukunya dan menatap pedas Ely. “Sudah tumbuh dengan sehat dan mereka cantik!”
“Syukurlah!” balas Ely
bosan. Kemudian dia menarik tanganku ke meja kosong di bagian belakang. “Jangan
khawatir, mereka akan berhenti menggodamu paling tidak seminggu lagi.” Tambah Ely
padaku saat melihatku bingung menatap si rambut kastanye.
“Tidak, tidak apa. Aku
tahu itu. Oh ya kenapa dengan kuku kakinya?”
Ely menatap belakang kepala
si kastanye dan mendengus, “si gadis cantik kehilangan kuku kakinya yang indah
ketika Blake mendorongku dengan sengaja saat antri makan siang dan aku tidak
sengaja menginjak kakinya.”
“Oh,” sahutku sambil
kembali melirik rambut kastanye. Dia sudah kembali mengikir kukunya dengan
serius.
“Jadi ceritakan tentang
dirimu dan di mana kau tinggal?” kata Ely lagi. Tapi ketika aku mulai bicara
tentang rumah lamaku, Mrs Andrew masuk ke kelas dan memotong percakapan kami.
Ely memutar lagi matanya padaku dan mengatakan, “Kita bisa melanjutkannya saat
makan siang.”
Kemarin kata Ely, Mrs Andrew
guru geometri yang paling disiplin dan ditakuti. Bertubuh besar dan tegap.
Matanya penuh waspada dan pandangannya akan membuat orang yang dipandang merasa
sedang membuat kesalahan. Kemarin aku tidak terlalu percaya, tapi setelah bertemu
dengannya, kurasa Ely benar.
Pelajaran sudah berjalan
sekitar satu jam ketika seseorang mengetuk pintu. Membuyarkan atmosfer tegang
seising kelas saat mendengar penjelasan Mrs Andrew tentang cara menyelesaikan
soalnya. Soal yang sudah dibagi barang dua menit setelah dia masuk kelas.
Mrs Andrew dan seluruh
isi kelas termasuk aku mengalihkan pandangan dari papan tulis ke pintu yang
sedang terbuka. Cowok dengan jaket abu-abu berdiri di ambang pintu. Jaketnya
berukuran besar. Terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping tinggi. Panjang
lengan jaketnya melenyapkan tangannya. Wajahnya pucat ditambah dua lingkaran
hitam di kantung matanya. Rambut cokelat tebal mencuat ke segala arah. Sepertinya
dia langsung berangkat ke sekolah tanpa mencuci muka terlebih dulu.
“Maaf , Mrs Andrew,” ujarnya
.
Aku dengar Giselle si rambut kastanye mengikik
di balik tangannya lalu mengaduh ketika kuku tangannya menusuk bibirnya.
“Aku tahu ini tidak
berguna tapi aku ingin tahu kenapa kau melewatkan satu jam penuh pelajaranku,”
balas Mrs Andrew tajam.
“Konser musik.”
Jawabnya cepat. “Aku bangun terlalu telat.”
Mrs Andrew menyipit
memandangnya. Aku heran cowok itu tidak mengerut ketakutan. Dia masih berdiri di
ambang pintu dengan santai. Seolah sudah terbiasa dengan pandangan menusuk Mrs
Andrew.
“Duduk!” perintah Mrs
Andrew singkat. Membuatku terkejut. Setelah pandangannya yang begitu menusuk,
dia menyuruh cowok itu duduk begitu saja? Katanya dia guru paling disiplin? Aku
memandang ke anak yang lain, dan mereka tampak biasa saja.
“Terima kasih Mrs
Andrew.” Jawab cowok itu kemudian bergegas ke satu-satunya bangku kosong di
sebelah Giselle. Dia duduk dengan pelan lalu melepas jaketnya untuk
memperlihatkan kaos oblong polos berwarna biru laut yang sama kebesarannya
seperti jaketnya.
“Kaos yang bagus!” Aku
mendengar Giselle berbisik padanya. Si cowok baju kebesaran itu memandangnya
dan tersenyum ringan. Ely mendengus dan membisikkan kata yang beakhiran
‘jalang’.
Mrs Andrew kembali
melanjutkan pelajarannya. Tapi aku masih memandang ke arah cowok yang baru
masuk kelas barusan. Dia sedang menatap papan tulis dengan pandangan kosong.
Lima belas menit kemudian, dia meletakkan wajahnya di atas meja. Matanya
terpejam erat. Dia tidur.
Aku menoleh ke Ely yang
jelas tidak memperhatikan cowok itu sepertiku. Giselle melirik ke arahnya tapi
membiarkannya. Sedikit membuatku khawatir bagaimana jika Mrs Andrew membalik
tubuhnya dan melihat salah satu muridnya terlelap di kelasnya. Pasti akan
terjadi kegaduhan.
Sayang, dugaanku salah.
Mrs Andrew hanya meliriknya lalu mengabaikannya. Membuatku heran, bagaimana hal
itu bisa terjadi.
XXX
Ely berlari dari kelas
biologinya secepat kaki pendeknya. Aku sedang menunggunya di koridor menuju kantin
saat jam makan siang. Agak menyembunyikan diri di antara tumbuhan dalam pot
untuk menghindari pandangan anak lain. Kali ini aku tidak sekelas dengannya
karena jadwalku di kelas bahasa Jerman.
“Ada apa?” tanyaku saat
dia kembang kempis menghampiriku. Dahinya mengkilat basah.
“Blake,” sahutnya
sambil mencengkeram dadanya, “dia membawa katak dan sedang berusaha
memasukkannya ke dalam bajuku. Dasar sinting!”
“Kenapa dia melakukan
itu?”
“Tenanglah, ini bukan
hal baru. Dia musuhku sejak kelas sembilan. Jangan kaget jika tiba-tiba kau
tidak menemukanku di mana pun. Atau jika tiba-tiba aku menghilang dari sisimu
saat kita berjalan.” Lanjutnya di antara tarikan berat nafasnya. “Jika suatu
saat hal itu terjadi, kau tinggal mencari Blake dan tanyakan keberadaanku.
Palingan aku dikunci di kamar sapu.”
“Jahat sekali!” seruku.
“Sudah jangan dipikirkan!
Aku pasti membalasnya. Ayo ke atas, aku haus sekali,” lanjutnya santai.
Rupa-rupanya berperang dengan Blake adalah kegiatan rutin di samping jadwal
kelasnya.
Setelah mengantri makan
siang, aku dan Ely yang sudah menegak kotak susunya sampai habis mengambil satu
meja kosong yang tersisa. Saat itu tampak tubuh besar Blake dan si ceking Frank
masuk ke dalam kantin. Ely terlonjak kaget.
“Sialan!” serunya. Sedetik
kemudian mereka saling pandang. Blake memincingkan satu matanya penuh dendam
kemudian Ely menunjukkan jari tengah kearahnya.
“Apa yang terjadi?”
tanyaku heran.
“Kau akan mengerti
sendiri nanti. Aku tidak akan menjelaskannya.” Jawab Ely singkat sambil
menekan-nekan sendoknya ke arah nampan dengan kesal.
Aku dan Ely melanjutkan
percakapan yang sempat terputus pagi tadi. Menurut ceritanya, Ely berasal dari Brooklyn. Dia terpaksa pindah
karena ayahnya ditugaskan di LES. Ayahnya bekerja di kantor imigran dan ibunya
membuka toko peralatan dapur di dekat apartemennya.
Dia punya adik
hiperaktif umur empat tahun bernama Tom dan seorang kakak bernama Nathan yang
tampak enggan diceritakannya.
Ely seseorang yang
menyenangkan. Banyak sekali bicara tapi dia sangat mendengarkanku saat
giliranku bercerita. Mungkin karena ceritaku tidak terlalu ribet. Remaja korban
perceraian dan pindah tempat tinggal, itu saja.
Sejauh pengamatanku,
Ely sepertinya selalu sendiran. Waktu aku bertanya kenapa dia menjawab:
“Kau pasti tahu betapa kerasnya dunia SMA kan? Nah, mungkin
aku sedang menjadi korbannya saat ini. Tapi hei Julie, kau pasti tidak mau
berteman dengan mereka yang hanya memikirkan gaya berpakaianmu dan seberapa
banyak cat yang tumpah di kukumu kan?”
Aku menyetujuinya.
“Kau bilang tinggal di
flat diatas toko?” lanjut Ely. “Kau punya rencana membuka usaha di sana?”
“Entahlah, berhasil mendapatkan
flat itu saja sudah membuatku heran. Itu tempat terbaik yang bisa kami temukan
di antara banyak tempat buruk yang harga sewanya mencekik leher kami. Kurasa
kami belum punya rencana dengan lantai bawah.”
“Kau tahu, memiliki
ruang kosong di LES dan tidak mempergunakannya untuk menghasilkan uang adalah
hal yang sangat buruk. Eh, tentu aku tidak mengejekmu, cuma kau tahu kan kita
berada di gerbang awal New York. Kau harus berusaha menghasilkan sesuatu
sebelum pindah ke tempat sebenarnya.”
“Tempat sebenarnya?”
“LES cuma tempat
persinggahan imigran. Orang-orang akan berada di sini untuk bekerja sampai
mampu menyewa flat di kawasan Central Park. Tapi tentu jika mereka mampu
bertahan di sini.”
Ucapan Ely sedikit
menohok dadaku. Bukan karena dia salah bicara, tapi karena dia benar. Membuatku
kembali cemas berada di kota ini. Segalanya begitu dipertaruhkan.
Aku menatap kearah
wajahnya Ely yang pucat sambil berpikir.
“Ely, apa kau menyesal
tinggal di sini?” Ely dengan cepat mendongak menatapku, matanya yang biru
melebar kaget. “Maaf, aku tidak bermaksud…”
Ely tertawa. “Hey aku
tidak sedramatis itu Julie, tenang saja! Aku memang ingin keluar dari kota ini.
Aku tahu itu pasti akan kulakukan setelah lulus SMA dan bergembiralah kita
berada di tahun terakhir masa ini.”
Ely benar, ini adalah
masa terakhir masa SMA-ku. Aku harus bersenang-senang seperti lainnya. Tapi
sejak berada di Ann Arbor, aku tidak tahu bagaimana cara bersenang-senang
seperti remaja lainnya. Bertemu orangtuaku di rumah adalah hal yang horor
untukku.
Sepuluh menit sebelum
jam makan siang berakhir, banyak anak mulai turun dari kantin dan hanya
meninggalkan beberapa anak saja. Aku hendak mengajak Ely menyusul yang lainnya
ke kelas ketika aku melihatnya. Cowok yang terlambat di kelas geometri tadi
berjalan masuk dengan wajah basah kuyup. Dia mengambil jatah makan siangnya
kemudian duduk di satu meja kosong di seberangku.
Dia meletakkan
pantatnya di kursi begitu saja tanpa susah-susah memandang ke seluruh kantin
untuk menemukan temannya yang lain. Dia mulai makan dengan pelan. Wajahnya masih
tampak mengantuk. Beberapa tetes air dari rambut basahnya menjatuhi nampannya.
Aku mengawasinya dari
jauh sambil membatin, mungkin dia adalah korban kehidupan keras di SMA.
Pendiam, pakaiannya tidak gaya dan tidak punya teman. Lima menit kemudian
setelah menghabiskan makanannya dengan cepat, dia memandang ke arah dinding
kaca di sebelahnya. Dinding yang memperlihatkan pemandangan kota. Terdiam
termenung.
“Siapa dia?” tanyaku
pada Ely.
Ely mengikuti pandanganku.
“Oh, dia Sam. Kenapa?”
“Tidak ada.”
XXX
Menyusuri blok di
Stanton Street yang sepi dengan pertokoan kemudian menyeberangi perempatan sampai
kekawasan pertokoan Orchard Street. Kawasan paling ramai di LES. Ini adalah
rute berbeda dari ruteku yang kuambil pagi tadi.
“LES tidak besar Julie.
Jika kau mau berjalan dari flat ke sekolah tanpa bus dan mengganti tiap rute
perjalanan setiap hari, aku jamin kau akan mengenal LES seminggu sejak berada
di sini.” Saran Ely sewaktu kami berpisah di gerbang sekolah. “Tapi tentu
jangan lupa memakai deodoran.” Tambahnya membuatku tertawa.
Mau tidak mau aku menyetujuinya.
Aku harus mengenal lingkungan baruku dan mulai mencintainya. Lagipula dengan
begitu aku bisa mengurangi ketergantunganku akan taksi sekaligus menghemat
biaya transportasi.
Mum tentu saja sudah
berada di flat dan tampak sangat lelah. Dia adalah perawat di rumah sakit kecil
di tempat asalku. Sekarang dia menjadi perawat rumahan seorang wanita sebayanya
yang lumpuh dan dilupakan suaminya, Grace. Diabetes menggerogoti tubuhnya sejak
muda dan diperparah gangguan jantungnya. Grace adalah kenalan pasangan Joice
dan mereka yang merekomendasikan Mum kepadanya.
“Grace sangat menyenangkan,“
ujarnya. “Ternyata dia senang sekali bercerita dan lucu. Heran, kenapa suaminya
begitu tega meninggalkannya.” Ujarnya setelah pertemuan pertama kalinya dengan
Grace.
Kami sedang berada di
dapur kecil kami. Yang semua barang-barangnya adalah hasil pinjaman dari Mrs
Joice yang baik hati. Mrs Joice menganggap peralatan dapurnya yang sudah kuno
tidak akan pernah mendapatkan tempat di lingkungannya yang baru. Jadi lebih
baik dia meninggalkannya saja di sini daripada repot-repot mengirimnya ke
Chicago.
Mum berdiri
membelakangiku, memakai celemek berbunga juga bekas milik Mrs Joice dan sedang
mencuci gelas. Aku duduk di meja kecil di depannya. Meja yang sangat kecil
dengan pelitur yang sudah berbocel-bocel tapi masih terlihat kokoh dengan
sisa-sisa ukiran meja minum teh yang menawan.
Sejauh yang bisa
kulihat, aku tahu aku akan makan makanan sisa kemarin malam ini. Aku tak
menemukan secuilpun warna merah daging atau bulatan kuning telur atau bahkan
warna pucat berpori kulit ayam. Tidak ada sayur-sayuran hijau segar atau
semacamnya. Yang kulihat hanya separuh potongan roti, mustar, selada lembek
sisa kemarin dan keripik kentang yang juga sisa kemarin. Semua sedang berjajar
rapi di atas meja. Melenyapkan selera makanku.
“Maafkan aku,” ujarnya
tiba-tiba. Dia menangkap pandangan mataku. “Aku belum tahu tempat untuk
berbelanja bahan makanan yang murah Julie. Jadi hidangan malam kita hanya ini.
Tidak apa-apa kan?” Mum menggigit bibir bawahnya.
Mungkin Mum bilang dia
belum menemukan tempat murah untuk berbelanja tapi aku tahu pasti, dia belum
punya uang lebih untuk membeli seseuatu yang enak untuk makan malam.
Aku mengangguk ke arahnya
dengan yakin seperti aku tak pernah membenci selada lembek sebelumnya. “Tidak
apa Mum, besok aku akan bertanya pada Ely. Mungkin dia bisa merekomendasikan
tempat yang bagus untuk kita. Oh ya, bibi Nichols tadi pagi menelepon. Aku
mengangkatnya sebelum berangkat ke sekolah. Dia bilang, dia hanya mencoba
apakah nomor telepon flat ini berfungsi.”
“Benarkah?” Aku mengangguk.
“Aku tahu dia mengkhawatirkan kita tapi dia selalu saja bercanda. Apa dia masih
bertanya tentang pasangan Joice? Dia terbahak ketika mendengar ceritaku,
menurutnya mereka pasangan lucu.” Sahutnya senang.
Dan sekali lagi aku
menganggukkan kepalaku padanya. Bibi Nichols tidak terbahak, itulah kenyataan
sebenarnya. Tapi dia menangis. Menangis sampai tidak bisa berbicara. Sehingga
selama sepuluh menit aku harus berdiri bersandar di dinding dan berbicara terus
di corong telepon untuk menenangkannya. Bibi Nichols sangat mengkhawatirkan
kami.
lanjut bab 3