Jumat, 14 Oktober 2016

Monet, Who Are You? (part 2)

Posted by Unknown on 18.20 with No comments
GADIS PEMELUK BUNGA
Sudah enam belas kali dalam dua jam terakhir mataku membuka dan menutup. Bukan karena suara kendaraan yang berlalu lalang tepat di bawah kamarku. Ataupun suara-suara klakson tidak sabar ketika lampu merah menjadi hijau dengan cepat. Tapi berada di sini membuatku cemas.
Baru dua minggu menghirup udara asing sejak kepindahanku dan Mum dari Ann Arbor ke Lower East Side atau LES. Kota pinggiran dengan banyak daerah kumuh dan biaya hidup lebih murah dibanding seluruh daerah bagian Manhattan.
Perceraian Mum dan Dad. Sebagai hasil akhir pertengkaran mereka setiap hari. Masalah ketidakberdayaan kami tentang ekonomi menjadi pemicu terbesar pertama. Alasan yang kedua adalah Dad benar-benar pria yang harus kami hindari jika tidak mau hidup menderita.
Dad memang sangat menguras emosi dan fisik kami selama bertahun-tahun. Tapi di antara kegiatannya memukuli Mum dan menyedot alkohol, dia masih sempat memberiku uang saku lebih untuk membeli satu gaun di toko vintage untuk pesta dansa terakhirku di sekolah lamaku.
“Julie, aku tahu ini tidak banyak, tapi aku tahu tempat baju murah di ujung jalan. Maksudku kata temanku.  Kau ingat Tayle kan? Nah, ambil ini dan belilah baju yang bagus untuk pestamu,” ujarnya pagi itu ketika aku masih berada di atas ranjang. Dia menyelipkan tiga puluh dolar ke tanganku kemudian pergi. Sedetik kemudian dia kembali menoleh dan berkata, “Julie, boleh pinjam lima dolar?”
Itu hanya satu kebaikan Dad yang masih bisa kuingat. Hanya itu. Selebihnya aku dan Mum sudah tidak tahan. Setelah aku mendapat enam jahitan tepat di punggungku, itu pertama kalinya aku melihat Mum memutuskan sesuatu yang benar. Mum menceraikannya.
Satu masalah terselesaikan dan satu masalah lain menanti. Aku benar-benar menyesali keputusan Mum. Tiga puluh dolar kurang lima dolar mungkin bisa untuk membeli gaun butut di Ann Arbor. Tapi di sini, aku harus merelakan semuanya untuk membayar taksi yang hanya akan mengantarku melewati beberapa blok.
Rasionalnya adalah setelah segala kesulitan yang menimpa kami sepanjang tahun, dan sadar Ann Arbor telah menelan kami bulat-bulat, seharusnya kami terbang melewati separuh Amerika kemudian hinggap di Texas. Kota yang biaya hidupnya separuh lebih murah daripada di LES. Menikmati sengatan matahari seperti yang diteriakkan Dad untuk membalas ego Mum. Bukan malah mengadu nasib di sini. Di kota di mana kami tidak tahu tempat untuk membeli telur murah.
New York pasti meludahi kami. Tidak sekarang, tapi segera.
Aku berguling dari posisi miringku, terlentang menatap tiruan lukisan Monet yang tergantung di dinding di depan ranjangku. Lukisan palsu tapi asli. Asli dengan goresan-goresan cat minyak. Bukan hasil potret kamera berfokus tinggi.


Young Girl In The Garden At Giverny. Lukisan seorang gadis muda memeluk bunga di tengah kebun. Aku tahu itu tiruan Monet karena aku mengenali lukisan aslinya. Aku pernah membuat klipingnya saat aku masih di SMP sebagai tugas kesenian.
Lukisan asli Monet menggunakan banyak warna yang kalem. Sedangkan si peniru ini menggunakan warna-warna yang menyolok mata. Lukisan gadis muram itu berubah menjadi lebih ceria. Gaun putih si gadis dirubah si peniru menjadi warna ungu. Dia juga merubah warna rambut si gadis yang semula cokelat menjadi biru langit cerah. Berbeda dengan aslinya tapi tetap saja tampak bernyawa.
Lukisan ini adalah milik penghuni flat sebelumnya. Pasangan Mr dan Mrs Joice. Bagaimana kami mendapat flat ini adalah suatu kejutan pertama saat kami tiba di LES. Kejutan besar setelah berjam-jam tersesat di daerah kumuh sebelum kembali ke jalur yang benar. Benar yang berarti kawasan yang tidak bau pesing dan sampah busuk.
Mum mendapatkan flat ini dari mereka dengan harga murah. Sepasang suami istri lanjut usia itu ingin secepatnya pindah ke Chicago. Sebenarnya Mr Joice ingin menjualnya sebelum pindah. Sayang, istrinya sudah tidak sabar untuk segera bertemu dengan anaknya. Jadi mereka menyewakan flat ini kepada kami sementara sebelum terjual. Pengumuman bangunan dijual tetap ditempel di dinding kaca lantai bawah. Di bekas toko kain mereka yang sudah gulung tikar.
Mungkin tidak ada yang bisa kami lakukan dengan ruang kosong di bawah flat. Tapi sungguh bukan masalah selama flat di atasnya, yang kutinggali sekarang memiliki dua kamar tidur, dua kamar mandi, ruang keluarga serta dapur kecil yang memadai. Suara berisik kendaraan yang berlalu lalang di bawah kami tidak akan pernah jadi masalah. Kecuali,
“…I’ve been thinking about you, I’ve been dreaming about you, every night and everyday…” suara pria bernyanyi keras bercampur tawa kemudian terbatuk dan muntah. Suara cairan yang muncrat dari dalam lambung mengenai trotoar terdengar menjijikkan.
Aku membalik bantal menutupi telingaku. Aku harus membiasakan diri dengan suara orang mabuk yang berteriak keras-keras jika ingin hidup di LES. Terlalu banyak bar di kota ini. Membuat orang-orang mabuk tampak zombie-zombie yang menyerbu kota di film-film.
Dan satu hal lagi. Jika suatu hari aku harus mabuk, aku akan mengingatkan diriku sendiri untuk tidak menyanyi salah satu lagu lemah milik Puddle Of Mudd. Ini terdengar menjijikkan untuk seseorang yang patah hati.
Hampir pukul dua malam, baik, aku harus segera tidur dan bangun pagi. Membuat sarapan sendiri sebelum berangkat ke sekolah.
Baiklah, apa yang harus kutakutkan sekarang? aku punya tempat berteduh dari hujan dan panas. Aku punya kamar mandi pribadi walaupun kran air panasnya kadang tidak berfungsi. Kecuali jika aku tidak lupa menyalakan ketelnya selama empat jam sebelum dipakai. Lagipula apa buruknya itu? air dingin bagus untuk peredaran darah bukan?
 Astaga hampir jam tiga malam! Aku harus tidur. bab 2

Monet, Who Are You? (part 4)

Posted by Unknown on 18.13 with No comments
BUKU BERSAMPUL HIJAU
Setelah rute Orchard Street, pagi ini aku berangkat menyusuri Ludlow Street. Bangun lebih awal dan berangkat satu jam lebih awal dari kemarin. Untuk berjaga-jaga agar tidak terlambat sampai di Evey jika aku tersesat. Sejak kecil aku bukan pengingat arah jalan yang baik.
Aku berjalan pelan sambil menikmati pagi. Sama seperti yang bisa dibayangkan banyak orang tentang New York, kota ini tidak pernah tidur meskipun aku masih berada di ujung lidah kota ini. Kendaraan mulai berlalu-lalang seperti semut yang mencari makan di musim dingin.
Pagi yang menggeliat, memang belum banyak toko yang belum buka tapi beberapa resto dan kedai kopi mulai berbenah membuka kedainya. Sementara toko yang tidak ada hubungannya dengan urusan perut, masih tertutup rapat dengan etelasenya yang gelap.
LES tidak terlalu buruk, pikirku membesarkan hati. Memang aku jauh merindukan Ann Arbor dengan pohon-pohonnya yang rindang. Halaman rumahku yang luas dan berumput. Di sini aku tidak menemukan hal semacam itu. Kecuali rentetan bangunan bertingkat yang tampak gersang. Trotoar penuh tiang besi penyangga kanopi toko yang didirikan ngawur. Aku harus beberapa kali menunduk jika tidak mau kepalaku terbentur. Tapi lepas dari semua itu, aku jadi orang baru disini dan hidup yang baru dan….
”Aachh…!!!” aku menjerit sambil melompat kaget ketika gerombolan bola bulu warna kelabu menyerondol kakiku. Oh Tuhan, banyak sekali tikus di sini.
Aku mengawasi bola bulu gendut keluar dari lubang gorong-gorong kemudian berlarian ke dalam gang di sebelah restoran yang tangki sampahnya meluap. Dengan cepat mereka merayap masuk ke dalam tangki sampah dan menyerbu sisa makanan di sana. Sedetik kemudian beberapa tikus lain berlarian dari arah lain menuju ke tangki sampah yang sama.
Astaga, ini masih pagi buta dan bahkan tikus pun tidak tidur di kota ini. Setelah membiasakan diri dengan jeritan orang mabuk tiap malam yang jumlahnya sebanyak bar yang tersebar di LES, aku juga harus membiasakan tikus-tikus yang jumlahnya hampir sama dengan penduduk LES. Kota ini benar-benar ajaib. Aku menggelengkan kepalaku takjub sembari meneruskan perjalanan. Meninggalkan bola-bola bulu itu berpesta di tangki sampah.
Sampai di ujung jalan sebelum aku berbelok ke Stanton Street, sebuah toko buku kecil menarik perhatianku. Bukan karena bangunan itu berasal dari batu bata warna marun dan pintu gaya lama yang disertai bel lonceng di depannya, tapi karena sepotong kertas pengumuman yang menempel di dinding kacanya. Aku berhenti dan membacanya. Ternyata mereka sedang membutuhkan pegawai paruh waktu.
Nah ini yang kubutuhkan, jeritku dalam hati. Aku mengambil pulpen dari dalam tasku dan menuliskan jam dan hari untuk menemui seseorang yang bernama Mrs Violeta yang tertera di kertas itu. Jika Mum belum bisa meletakkan daging panggang atau salad ayam di meja, itu berarti aku tidak akan mendapatkan uang saku yang mencukupi. Aku memang masih punya lima ratus dolar di celenganku. Hasil dari membantu bibi Nichols di toko kuenya sebelum pindah kemari, tapi dalam hitungan beberapa minggu uang itu pasti akan habis juga.
xxxx
Sampai di Evey, aku menunggu Ely sambil bersandar di lokerku. Masih tiga puluh menit sebelum jam pertama. Aku tidak tersesat dan itu bagus. Belum banyak yang datang sepagi ini, hanya satu dua saja murid saja yang berpapasan denganku. Lima belas menit kemudian aku melihat wajah-wajah yang mulai kukenal. Berpapasan dengan Frank dan Blake di koridor dan mereka menggodaku lagi.
“Hei anak baru, siapa namamu? Stevens? Oh, ya Julie Stevens,” iseng Frank sambil memutar-mutar bola basket di tangannya. “Kenapa kau berdiri di sini? Kau lupa arah kelasmu? Aku tidak keberatan mengantarmu,” Frank memberikan tangannya yang bebas kepadaku untuk kugandeng.
“Terima kasih Frank tapi aku sedang menunggu Ely.” Balasku.
“Yah, kesempatan yang buruk.” Dia menjentikkan jarinya kecewa. Kemudian melempar bola basketnya ke punggung Blake. “Aku benci cewek,” lanjutnya sembari meneruskan perjalanannya.
Lima menit kemudian aku melihat Giselle masuk dari pintu depan sedang terkikik-kikik bersama gengnya yang tampak begitu memujanya. Untungnya dia tidak melihatku. Karena ketika sampai di depanku dia memilih memelototi kukunya untuk mencari setitik catnya yang mengelupas.
Bel berbunyi.
Membuatku cemas.
Aku belum melihat Ely. Aku tidak ingin sendirian. Kemudian sedetik sebelum aku memutuskan untuk naik ke kelas, kulihat Ely berlari dari luar kemudian membuka pintu dorong kaca sekolah dengan kekuatan berlebih. Pintu kaca menabrak dinding di belakangnya sampai berbunyi dar keras.
“Ely!” seruku kaget dan dia membekap mulutnya sama kagetnya denganku.
Ely melihatku dan berlari kearahku. Menggaet tanganku dan menarikku berlari bersama menuju tangga. Dia berkeringat dan tampak waspada. Rambut keritingnya seperti sarang burung. Penuh dengan potongan tangkai dahan kering dan daun kering.
 “Maaf aku agak terlambat dan terima kasih sudah menungguku.” Ujarnya cepat.
 Kami menaiki anak tangga dua-dua sekaligus.
“Tidak apa.” jawabku sambil memindahkan tasku ke depan dada dan membekapnya dengan kedua tanganku untuk meredam kotak pensil besiku yang berkelontangan. “Tapi kenapa kau terlambat? Dan rambutmu?”
Ely melarikan tangannya ke rambutnya yang keriting tebal dan membersihkannya. “Blake. Aku lihat dia di dekat halte. Jadi aku bersembunyi agar dia tidak menganiayaku sebelum jam pertama mulai.”
“Oh,” sahutku terkejut. Entah harus menanggapi seperti apa. Tapi Ely tampak begitu serius berperang dengan Blake.
“Jadi kau memakai deodoran?” lanjutnya lagi dengan curiga.
Aku memutar bola mataku. “Tentu saja!”
Untung saja Mrs Andrew belum datang saat kami sampai di kelas. Frank langsung menyapaku. “Hai Julie, kita bertemu lagi!” Sementara Blake menyipit memandang Ely yang tersenyum menang.
 Aku dan Ely berjalan cepat mengisi bangku kosong yang tersisa. Ely duduk tepat di belakang Giselle, dia berlagak muntah tanpa suara padaku. Sedangkan aku duduk di depan cowok yang sedang menggelung memeluk meja seperti kucing di musim dingin. Matanya terpejam damai. Bibirnya terbuka sedikit. Aku mendengar desahan nafas pelan dan teraturnya.
Menilik jaketnya yang kebesaran sama seperti kemarin, membuatku mengingat siapa dia. Dia Sam. Sepertinya dia datang sangat pagi hari ini. Aku tidak berpapasan dengannya di koridor depan padahal aku datang tiga puluh menit lebih awal.
Semenit kemudian Mrs Andrew masuk ke dalam kelas dan Sam belum juga tersadar dari tidurnya. Mrs Andrew mengucapkan selamat pagi dan menata bukunya di mejanya. Satu dua nafas teratur terdengar lagi. Aku mulai khawatir Sam tidak bangun. Mrs Andrew bangkit dari kursinya dan mulai memandang muridnya. Satu desahan panjang nafas terdengar.
Aku memandang berkeliling. Mencari seseorang yang sedang bergerak untuk membangunkan Sam. Tapi tidak ada. Seisi kelas sibuk dengan dirinya sendiri, mengeluarkan peralatan sekolahnya.
 “Nah, seperti yang kukatakan kemarin…” Mrs Andrew mulai berbicara. Aku mulai khawatir. “…kita akan mempelajari kelanjutan pelajaran kemarin dan sesuai kesepakan kita…” Mata Mrs Andrew menyapu seluruh kelas.
Kemarin mungkin saja cowok ini lolos dari pandangan mematikan Mrs Andrew, tapi bukan tidak mungkin hari ini akan berjalan sebaliknya. Aku tidak tahu kenapa aku peduli. Tapi jika aku sedang berada di posisi yang sama dengan Sam, aku pasti berharap ada seseorang yang membangunkanku. Dengan mata tetap terfokus pada Mrs Andrew aku mencoba menabrakkan punggungku ke sandaran kursiku sampai membentur meja Sam.
Terdengar bunyi duk pelan tapi tidak ada respon. Aku menabraknya lagi. Dua kali tidak ada respon dan akhirnya dengan sentakanku yang agak keras aku mendengar lenguh panjang dan gerakan. Syukurlah dia terbangun. Dan aku akan meminta maaf  kepadanya nanti tentang perlakuanku yang kurang sopan.
“…Jadi untuk itu apakah kalian sudah membawa buku paket yang sempat kusinggung kemarin? Maaf anak-anak, demi kedisiplinan aku akan memeriksa buku kalian satu persatu. Bagi yang tidak membawa aku ingin kalian keluar dari kelas!”  lanjut Mrs Andrew dengan suara menggelegar dan membuat jantungku melompat.
Buku paket? Buku paket apa? aku mencoba mengingatnya tapi tak menemukan apapun dalam pikiranku yang menyangkut tentang buku paket dan bahkan aku juga belum memilikinya.
Aku memutar kepalaku ke arah Ely yang langsung membelalakkan matanya padaku. Dia meringis sambil mengucapkan kata maaf tanpa suara. Mengetuk dahinya dengan telapak tangannya sendiri. Aku mengerti apa yang sedang dia lakukan. Ely menggerakkan tangannya ke arah belakang lalu menggerak-gerakkan lima jarinya seperti bibir orang yang berbicara kemudian menunjuk Mrs Andrew.
Aku gagal mengerti. Sama gagalnya seperti saat aku menonton cuplikan film Charlie Chaplin diusia lima tahun.
Setelah beberapa kali Ely melakukan gerakan konyol itu aku sadar. Begitu sadar sampai ingin menangis. Astaga, aku dalam masalah. Aku di toilet saat itu dan aku melewatkan instruksi Mrs Andrew.
“Aku tahu aku seharusnya tidak membuat kalian tidak mengikuti pelajaran hanya karena lupa membawa buku paket kalian. Tapi mengingat pentingnya pelajaran hari ini dan sesuai dengan kesepakatan kita bersama kemarin, aku tekankan lagi bahwa tidak ada buku paket berarti keluar dari kelas.” Lanjut Mrs Andrew membuatku gemetar. Bagaimana mungkin aku sudah dikeluarkan dari kelas dihari ketigaku di sini?
Mrs Andrew berjalan pelan ke arah baris bangkuku dan memeriksa buku paket anak yang duduk di depanku. Jantungku berdenyut keras. Aku menoleh ke Ely yang masih mengekoriku dan mengucapkan maaf tanpa kata.
“Astaga bagaimana ini?” bisikku padanya walaupun aku tahu dia tidak bisa mendengarnya.
Mrs Andrew sudah sampai di bangku depanku. Baiklah lebih baik aku jujur saja bahwa aku melewatkan pengumuman Mrs Andrew karena aku sedang di toilet waktu dia memberi intruksi. Lagi pula aku juga belum membelinya. Dan ini salahku. Setelah mendapat sedikit omelan aku akan mengangkat tas keluar kelas sambil mengucapkan banyak permintaan maaf kemudian menunggu Ely di kantin sampai jadwal kelas selanjutnya. Tapi aku tidak ingin melewatkan pelajaran ini karena aku tahu aku bodoh untuk geometri.
“Miss Steven di mana bukumu?” Mrs Andrew sampai di mejaku. Matanya menyelidik. Mejaku masih kosong. Aku belum mengeluarkan apapun dari tasku.
Aku memandang yang lainnya yang ternyata menengok ke arahku. Mungkin mereka juga tidak ingin melewatkan momen bahwa anak baru ternyata sebodoh yang bisa dibayangkan. “Kau tidak mendengar instruksiku kemarin Miss Steven?” lanjutnya lagi.
“Ehm… Mrs Andrew maaf, sebenarnya aku tidak bermaksud…” dan saat itu seseorang mencolek-colek punggungku. Astaga apa ini waktu yang tepat? Aku mengacuhkannya. “…untuk tidak membawanya tapi…” dan sekali lagi colekan super keras di punggungku membuatku menoleh dengan kesal. “Ya?”
Sam dengan wajah mengantuk dengan lingkaran hitam di bawah mata berbalik menatapku. “Kau menjatuhkan bukumu di bawah kursi!” ujarnya datar. Dengan bingung aku mengikuti arah tangannya yang mengacungkan ujung pulpen yang dipakainya untuk mencolekku ke bawah kursiku.
Sebuah buku setebal buku telepon berwarna hijau tergeletak di bawahku. Aku memungutnya dengan ragu kemudian beralih ke Mrs Andrew yang tersenyum puas melihat buku itu. Kemudian dia melewatiku begitu saja dan aku masih bingung menggenggam buku entah milik siapa yang di bawah kursiku.
“Kau tidak lupa membawa bukumu kan Sam?” aku melirik punggung Mrs Andrew yang sedang berbicara dengan Sam.
Hening sesaat dan terdengar suara tas yang diangkat dari lantai. “Maafkan aku Mrs Andrew, tapi aku benar-benar lupa membawanya.”
Terdengar lenguhan putus asa Mrs Andrew dan desisan, “keluar!”
Aku menoleh ke arahnya saat itu juga dan dia menatapku sekilas sebelum bangkit berdiri sambil menyandang tasnya keluar kelas.
XXX
“Buku ini milik Sam,” aku memberitahu Ely sambil membuka lembaran awal buku dengan tulisan grafiti namanya di sudut halaman. Kami berdua berada di kantin dengan Ely yang tidak bisa berhenti mengucapkan kata maaf karena lupa memberitahuku soal buku paket itu. Aku sungguh tidak menyalahkannya.
“Maaf benar-benar aku lupa Julie. Tapi jangan berpikir aku sengaja melakukannya…”
“Ely berhenti meminta maaf, lihat buku ini!”
“Baiklah,” Ujarnya ogah-ogahan kemudian melihat nama kecil di ujung halaman sampul depan. “Ini memang bukunya dan dia menyelamatkanmu.”
“Aku harus berterima kasih padanya.”
“Oh, lupakan.” Sahutnya malas sambil mengaduk-aduk minumannya. Aku memandangnya heran. “Kau tidak perlu berterima kasih. Aku yakin dia sengaja melakukannya untuk segera keluar dari kelas.”
“Kenapa?” tanyaku.
“Karena dia itu tukang bolos, tukang terlambat, pemalas… ya kau tahu semacam anak aneh yang selalu ada di tiap SMA normal.”
Aku mengerutkan dahi. “Sam terlihat normal-normal saja.” Ujarku. Ely mendengus.
 Jaketnya memang kebesaran dan lingkaran hitam di bawah matanya itu terlihat aneh memang. Tapi semua orang di dunia ini kan akan memilikinya jika begadang semalaman. Apalagi setelah nonton konser. Dia juga rajin datang. Bahkan sebelum aku tiba di sini.
“Tapi aku lihat dia tidak terlambat tadi.” Sambungku. “ Kau tahu, aku sampai tiga puluh menit lebih awal dan aku terus berdiri di depan loker menunggumu aku tidak melihatnya melewatiku. Dia datang lebih dulu daripadaku.”
Ely memutar matanya. “Nah itulah yang kumaksud. Dia semacam… kau pernah melihat film fantasi yang pemeran utamanya adalah seseorang yang hidup di dunia khayalannya sendiri? Berjalan menapakkan kaki di bumi tapi pikirannya melayang-layang di galaksi? Nah, dia Sam. Kau tidak bisa menebak jalan pikirannya. Kadang dia datang satu jam lebih awal dan kadang setengah jam sebelum bel akhir pelajaran. Setiap hari dia datang, duduk, tidur dan pulang begitu saja. Kadang kala dia tidak masuk sekolah berhari-hari kemudian kembali ke kelas, meminta tugas yang terlewatkan dan mengerjakannya. Dia seperti mayat hidup.”
Aku mengamati wajah Ely yang terlihat tidak serius sambil menotolkan kentang gorengnya ke saus mayo. “Kau sedang bercanda ya? Mana mungkin ada anak yang semaunya sendiri seperti itu, dia pasti sudah dikeluarkan dari sekolah.”
“Nah, itu ajaibnya si Sam ini. Dia adalah tipe orang yang akan bekerja keras ditarikan nafas terakhir. Para guru sudah menyerah dengan Sam. Dia sekolah semaunya sendiri, tidak pernah mendengarkan guru di kelas, selalu tidur, membolos berhari-hari dan dia sudah diskors beberapa kali. Tapi rasanya tidak berguna. Sam tidak memperdulikan peringatan. Ketika sekolah sudah menyerah dan mengancamnya tidak naik kelas, dia akan kembali ke Evey untuk meminta semua tugas yang terlewatkan olehnya. Ditambah tugas tambahan untuk hukumannya, tentu saja. Kau bisa membayangkan betapa mengerikkannya hal itu?” Ely melotot padaku.
“Itu pasti sangat banyak sekali,” timpalku ngeri.
Ely mengangguk-angguk serius. “Tapi dia selalu berhasil mengerjakannya. Alhasil dia bisa naik kelas. Walaupun nilai kedisiplinan dan keaktifannya minus seratus tapi akademinya selalu A. Tentu saja sekolah tidak akan mengeluarkan murid yang rata-rata nilainya meskipun dia sering membolos.” Terang Ely lancar.
“Benarkah?” aku memandangi lagi buku itu.
Ely mendengus. “Julie aku sudah bersekolah di sini empat tahun lamanya dan hal itu membuatku cukup tahu beberapa pola tingkah anak di sini, termasuk Sam!”
“Aku tidak pernah bertemu seseorang yang seperti itu,” sahutku.
Ely tertawa pelan. “Dia aneh. Banyak yang bilang Sam membayar orang lain untuk mengerjakan tugasnya.”
“Dia anak orang kaya?”
Ely menyeruput jusnya dan menggeleng untuk kedua kalinya. “Aku tidak tahu dan anak lain pun tidak. Sudah kubilang dia tidak punya teman. Dia pendiam dan terlalu dingin seperti kutub utara.”
“Ah, tidak ada orang yang sedingin itu di dunia ini, kalau iya, pasti dia sudah mati membeku. Kau bercanda!”
Ely mendengus protes.
“Kau tak pernah bicara dengannya?”
“Tidak.” Ely merapatkan kepalanya padaku. “Rumor berkembang kalau si Sam itu seorang pelukis sensual amatir.”
“Apa?” seruku menarik kepalaku menjauh. Mana ada  anak SMA punya profesi seperti itu? “pelukis telanjang maksudnya?”
“Sssttt…” Ely menempelkan jarinya kebibir. “Banyak yang sering melihat Sam berjalan dengan banyak wanita. Tidak hanya remaja seperti kita, tapi semua wanita. Kadang wanita tua, kadang masih muda dan kadang seumuran dengan ibuku. Sam tertawa-tawa bersamanya, ya maksudku apa salahnya sih dengan tertawa. Tapi untuk ukuran anak aneh yang tidak pernah bicara dengan seseorang kurasa agak mencurigakan.”
“Dia seorang pelukis?” aku masih belum menemukan benang merah antara tertawa dengan gadis-gadis dan pelukis amatir.
“Aku tidak tahu pasti dia seorang pelukis sensual atau tidak. Atau hanya kedok saja. Tapi, dia selalu mendapat nilai paling tinggi di kelas seni. Dan hanya kelas itu yang jarang dia lewatkan.”
“Kau pernah melihat lukisannya?” tanyaku. Aku menyukai lukisan. Kurasa aku tertarik dengan hal ini.
“Ada beberapa lukisannya di galeri seni lantai tiga. Kau bisa melihatnya saat pergantian jam pelajaran. Tapi Mrs Julian tidak akan membiarkanmu melakukannya tanpa ijin. Jadi kau harus meminta ijinnya terlebih dulu untuk memasuki galerinya. Dan itu sama mustahilnya seperti kau melihat penguin di pantai Maladewa.”
Aku mengangguk-angguk. “Lalu gadis-gadisnya?”
Ely menepuk dahinya sendiri. “Julie, jika kau seorang cowok, apa yang akan kau lakukan jika bersama seorang wanita telanjang di dalam kamar?”
Tanpa berpikir aku sudah mendapatkan jawabannya.
“Separah itu kah? Kau yakin?” aku sanksi. “Giselle juga terlihat menyukainya ya,” aku mengingat Giselle yang terkikik-kikik melihat Sam kemarin.
“Oh kau jangan terlalu polos Julie, siapa sih yang tidak akan menyukainya? Dia tinggi, berambut gelap, matanya bagus dan…” Ely membuat gerakan di udara dengan kedua tangannya membentuk siluet gitar Spanyol. “Dia hot! Ya walaupun gayanya acak kadut sih. Pertama kali masuk SMA dia seperti bintang yang kelewat bersinar. Banyak yang mengejarnya. Mendekati Sam dengan banyak cara, tapi semua gagal. Mereka bilang, mendekati Sam adalah hal paling sia-sia. Sama sia-sianya seperti menyatukan Korea Utara dan Selatan. Jadi mereka mundur satu-persatu. Sam begitu misterius.”
Aku terpaksa menelan semua cerita Ely walaupun aku sangat tidak percaya. Sama tidak percayanya dengan Dad yang berhenti minum alkohol. Dan apa perduliku dengan pekerjaannya? Aku hanya ingin mengembalikan bukunya dan berterima kasih padanya.
“Ely, bagaimanapun juga aku harus mengembalikan buku ini dan mengucapkan terima kasih,” lanjutku sambil menatap kembali buku geometri bersampul hijau di tanganku.
“Ya, ya aku tahu tapi aku hanya bisa mendoakan semoga berhasil!”
“Kenapa kau bicara seperti itu?” tanyaku heran.
“Kau akan tahu sendiri nanti.”

Sepanjang sisa hari itu aku mencari Sam di seluruh penjuru sekolah dan hasilnya nihil dan ketika jam sekolah berakhir aku sengaja menunggunya di luar kelas. Tapi aku tak menemukannya. Akhirnya aku berpisah jalan dengan Ely. Dia harus pulang membantu ibunya lebih awal karena adiknya sedang demam. Aku kembali berjalan menyusuri Stanton Street dengan banyak suara Ely tentang Sam. Dan di mana Sam? Aku benar-benar harus berterima kasih padanya.

Monet, Who Are You? (part 3)

Posted by Unknown on 18.13 with No comments
YANG TERAKHIR DATANG
Sekolah baruku, Evey, berjarak enam blok dari flat. Sekolah yang pertama kali direkomendasikan Mr and Mrs Joice sebagai SMA terdekat. Aku memang belum memiliki teman di kota ini dan aku harap aku mulai mendapatkan teman dihari keduaku di sini.
Evey adalah sekolah dengan bangunan khas jaman Victoria. Bangunan dari batu bata merah yang tergencet di antara kantor notaris dan toko peralatan alat tulis yang selalu ramai pembeli. Kebanyakan pembeli dari murid Evey sendiri.
Sesuai dengan susunan bangunan di LES yang berdempet, sekolah ini tidak memiliki halaman luas kecuali aula besar untuk mengikuti pelajaran olahraga secara bergantian. Selebihnya hanya bangunan bertingkat dengan deretan kelas-kelas dan koridor lebar yang saling berhubungan seperti labirin. Dari luar, tempat ini tampak seperti bangunan lama yang biasa digunakan untuk pameran lukisan. Kecuali jika sempat membaca plakat besar bertuliskan Sekolah Evey di dinding luarnya.
Hanya satu murid cewek yang kukenal yang sudah berbaik hati mengantarku ke kelas kimia kemarin. Aku sengaja terus mengingat namanya. Lebih baik tahu satu nama daripada tidak sama sekali. Membuatku benar-benar merasa nyata menginjakkan kaki di sini.
Aku membuka lokerku. Memandang pantulan bayangan wajahku sendiri di pecahan cermin kecil di dalam loker baruku. Tidak, aku tidak dengan sengaja memasangnya di dalam loker, tapi cermin itu sudah berada di sana sejak aku membuka loker itu untuk pertama kali.
Rambut rapi.Aku menguncir rambut gelapku yang tebal dengan ekor kuda. Tatanan rambut 30 detikku. Bibirku pecah-pecah. Aku malas minum akhir-akhir ini. Baiklah cukup. Aku hanya bisa menyelamatkan penampilanku dengan merapikan rambutku saja. Aku mengabaikan pipiku yang semakin tirus karena kehilangan lima kilo berat badanku selama dua minggu berada di LES. Aku menyambar daftar kelasku kemudian menutup lokerku.
“Hei anak baru!” seseorang menyapaku, aku berbalik dan melihat Ely sedang membuat rambut kriting ikalnya yang panjang bergoyang-goyang seperti pegas di antara kedua bahunya ketika dia berjalan.
“Hai Ely!” aku menyapanya kembali.
Cewek kulit pucat itu memakai kaos panjang warna kelabu dan menyandang tasnya dengan satu bahu. “Kelas geometri hari ini kan?” lanjutnya.
Aku kembali menyusuri daftar kelasnya dengan ujung jari. “Ya, jam pertama geometri. Kita sekelas?”
Ely mengangguk. “Aku masih ingat daftar kelasmu kemarin. Jadi aku menghampirimu. Kita sekelas pagi ini!” Ia berujar ceria.
Baguslah, aku tidak akan sendirian. Anak baru memang selalu jadi tontonan. Memiliki satu teman untuk berjalan rasanya normal. Kukira aku menyukai Ely, dia seperti Ron untuk Harry Potter. Pertama kali aku menanyakan di mana kelas kimia, dia baru saja keluar dari toilet. Rambutnya basah, dadanya naik turun cepat dan dia melompat kaget saat aku menepuk punggungnya.
“Oh kau,” serunya waktu itu sambil mencengkeram dadanya.
“Maaf aku mengagetkanmu.”
“Tidak apa, ada apa?” Ely menyipitkan matanya ke arahku cukup lama untuk menilai. “Kau baru?” Aku mengangguk. “Dan kau dari?”
“Ann Arbor.” Jawabku langsung. Aku tidak punya waktu untuk memikirkan hal untuk berbohong waktu itu. Dan tidak ada alasan untuk berbohong.
Mata Ely membulat. Aku ingat saat aku menoleh ke belakang untuk memastikan mata membulat itu untukku. Dan ternyata memang untukku. Karena tepat di belakangku hanya berdiri tembok padat yang lembab.
“Wow,” serunya. Ekspresinya sama seperti Ron saat pertama kali bertemu Harry Potter di dalam kereta dan melihat sambaran petir tepat di dahinya. Aku tidak yakin apakah bibirku yang pecah-pecah sama menariknya dengan itu. “Aku pernah ke stadion Michigan dan bertemu cowok super hot di sana.”
Aku menganga takjub. Aku tidak tahu bahwa seseorang yang berasal dari Ann Arbor yang kebetulan punya Stadion Michigan dan cowok super hot yang sekarang tampak seperti Henry Cavil dibayanganku mampu membuat seseorang terlihat seperti Harry Potter.
“Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya membangunkanku.
“Oh ya…,” aku membuka jadwal kelasku lagi dan menyodorkan padanya. “Kau bisa membantuku menemukan kelas Kimia?”
Ely mejawab ya dan menggandeng tanganku ke kelas Kimia. Sementara dalam hati, aku berterima kasih pada Stadion Michigan dan cowok Henry Cavilnya. Catatan : aku belum pernah mengunjungi stadion Michigan.
XXX
Kelas geometri sudah terisi belasan anak dan mereka sedang membuat kegaduhan seperti biasa. Empat cewek dan dua cowok sudah pernah aku lihat di kelas kimia kemarin. Sisanya aku belum pernah bertemu dengan mereka.
“Hei anak baru, kau mau duduk di sebelahku?” celetuk cowok berambut pirang cepak. Wajahnya nyengir usil sembari mengelus meja kosong di sebelahnya. Dia duduk di bangku dekat pintu masuk. Kanan kirinya diapit cowok-cowok lain. Satu cowok yang duduk di belakangnya tampak menonjol daripada yang lainnya. Badannya sebesar gorila.
“Frank berhenti bermulut besar!” sahut Ely sambil memutar matanya padaku.
“Kaki katak, kau mau berkencan dengan Frank sebelum dia mengajak kencan si anak baru?” sahut cowok yang berbadan gorila.
“Oh, kau bermimpi Blake!” Ely mengatakannya dengan tangan mengibas seperti sedang membuang permen karet yang menempel di tangannya.
“Ely sayang kau pasti hanya bermimpi untuk itu!” sahut anak perempuan berambut kastanye panjang, lurus dan mengkilat. Dia duduk di atas meja sambil mengikir kuku kakinya. “Dunia akan hancur terlebih dulu jika itu terjadi.” Tambahnya tanpa mengangkat wajahnya dari kuku panjangnya yang menarik. Aku belum pernah bertemu dengannya.
Dia cantik. Warna kulitnya seperti cewek-cewek yang berasal dari Florida. Mendapatkan matahari penuh setiap hari. Wajahnya tirus dengan tulang pipi menonjol. Aku yakin agensi model akan senang menerima cewek dengan wajah yang akan tampak bagus berada di sampul majalah.
Aku melirik tanganku sendiri kemudian mengepalkannya lagi. Menyembunyikannya di balik punggungku. Aku memang tidak sepucat Ely, tapi tetap saja warna kulitku tidak menarik.
“Thanks Giselle! Apa kabar kuku kakimu?” balas Ely.
Dia mengangkat wajah dari kukunya dan menatap pedas Ely. “Sudah tumbuh dengan sehat dan mereka cantik!”
“Syukurlah!” balas Ely bosan. Kemudian dia menarik tanganku ke meja kosong di bagian belakang. “Jangan khawatir, mereka akan berhenti menggodamu paling tidak seminggu lagi.” Tambah Ely padaku saat melihatku bingung menatap si rambut kastanye.
“Tidak, tidak apa. Aku tahu itu. Oh ya kenapa dengan kuku kakinya?”
Ely menatap belakang kepala si kastanye dan mendengus, “si gadis cantik kehilangan kuku kakinya yang indah ketika Blake mendorongku dengan sengaja saat antri makan siang dan aku tidak sengaja menginjak kakinya.”
“Oh,” sahutku sambil kembali melirik rambut kastanye. Dia sudah kembali mengikir kukunya dengan serius.
“Jadi ceritakan tentang dirimu dan di mana kau tinggal?” kata Ely lagi. Tapi ketika aku mulai bicara tentang rumah lamaku, Mrs Andrew masuk ke kelas dan memotong percakapan kami. Ely memutar lagi matanya padaku dan mengatakan, “Kita bisa melanjutkannya saat makan siang.”
Kemarin kata Ely, Mrs Andrew guru geometri yang paling disiplin dan ditakuti. Bertubuh besar dan tegap. Matanya penuh waspada dan pandangannya akan membuat orang yang dipandang merasa sedang membuat kesalahan. Kemarin aku tidak terlalu percaya, tapi setelah bertemu dengannya, kurasa Ely benar.
Pelajaran sudah berjalan sekitar satu jam ketika seseorang mengetuk pintu. Membuyarkan atmosfer tegang seising kelas saat mendengar penjelasan Mrs Andrew tentang cara menyelesaikan soalnya. Soal yang sudah dibagi barang dua menit setelah dia masuk kelas.
Mrs Andrew dan seluruh isi kelas termasuk aku mengalihkan pandangan dari papan tulis ke pintu yang sedang terbuka. Cowok dengan jaket abu-abu berdiri di ambang pintu. Jaketnya berukuran besar. Terlalu besar untuk tubuhnya yang ramping tinggi. Panjang lengan jaketnya melenyapkan tangannya. Wajahnya pucat ditambah dua lingkaran hitam di kantung matanya. Rambut cokelat tebal mencuat ke segala arah. Sepertinya dia langsung berangkat ke sekolah tanpa mencuci muka terlebih dulu.
“Maaf , Mrs Andrew,” ujarnya .
 Aku dengar Giselle si rambut kastanye mengikik di balik tangannya lalu mengaduh ketika kuku tangannya menusuk bibirnya.
“Aku tahu ini tidak berguna tapi aku ingin tahu kenapa kau melewatkan satu jam penuh pelajaranku,” balas Mrs Andrew tajam.
“Konser musik.” Jawabnya cepat. “Aku bangun terlalu telat.”
Mrs Andrew menyipit memandangnya. Aku heran cowok itu tidak mengerut ketakutan. Dia masih berdiri di ambang pintu dengan santai. Seolah sudah terbiasa dengan pandangan menusuk Mrs Andrew.
“Duduk!” perintah Mrs Andrew singkat. Membuatku terkejut. Setelah pandangannya yang begitu menusuk, dia menyuruh cowok itu duduk begitu saja? Katanya dia guru paling disiplin? Aku memandang ke anak yang lain, dan mereka tampak biasa saja.
“Terima kasih Mrs Andrew.” Jawab cowok itu kemudian bergegas ke satu-satunya bangku kosong di sebelah Giselle. Dia duduk dengan pelan lalu melepas jaketnya untuk memperlihatkan kaos oblong polos berwarna biru laut yang sama kebesarannya seperti jaketnya.
“Kaos yang bagus!” Aku mendengar Giselle berbisik padanya. Si cowok baju kebesaran itu memandangnya dan tersenyum ringan. Ely mendengus dan membisikkan kata yang beakhiran ‘jalang’.
Mrs Andrew kembali melanjutkan pelajarannya. Tapi aku masih memandang ke arah cowok yang baru masuk kelas barusan. Dia sedang menatap papan tulis dengan pandangan kosong. Lima belas menit kemudian, dia meletakkan wajahnya di atas meja. Matanya terpejam erat. Dia tidur.
Aku menoleh ke Ely yang jelas tidak memperhatikan cowok itu sepertiku. Giselle melirik ke arahnya tapi membiarkannya. Sedikit membuatku khawatir bagaimana jika Mrs Andrew membalik tubuhnya dan melihat salah satu muridnya terlelap di kelasnya. Pasti akan terjadi kegaduhan.
Sayang, dugaanku salah. Mrs Andrew hanya meliriknya lalu mengabaikannya. Membuatku heran, bagaimana hal itu bisa terjadi.
XXX
Ely berlari dari kelas biologinya secepat kaki pendeknya. Aku sedang menunggunya di koridor menuju kantin saat jam makan siang. Agak menyembunyikan diri di antara tumbuhan dalam pot untuk menghindari pandangan anak lain. Kali ini aku tidak sekelas dengannya karena jadwalku di kelas bahasa Jerman.
“Ada apa?” tanyaku saat dia kembang kempis menghampiriku. Dahinya mengkilat basah.
“Blake,” sahutnya sambil mencengkeram dadanya, “dia membawa katak dan sedang berusaha memasukkannya ke dalam bajuku. Dasar sinting!”
“Kenapa dia melakukan itu?”
“Tenanglah, ini bukan hal baru. Dia musuhku sejak kelas sembilan. Jangan kaget jika tiba-tiba kau tidak menemukanku di mana pun. Atau jika tiba-tiba aku menghilang dari sisimu saat kita berjalan.” Lanjutnya di antara tarikan berat nafasnya. “Jika suatu saat hal itu terjadi, kau tinggal mencari Blake dan tanyakan keberadaanku. Palingan aku dikunci di kamar sapu.”
“Jahat sekali!” seruku.
“Sudah jangan dipikirkan! Aku pasti membalasnya. Ayo ke atas, aku haus sekali,” lanjutnya santai. Rupa-rupanya berperang dengan Blake adalah kegiatan rutin di samping jadwal kelasnya.
Setelah mengantri makan siang, aku dan Ely yang sudah menegak kotak susunya sampai habis mengambil satu meja kosong yang tersisa. Saat itu tampak tubuh besar Blake dan si ceking Frank masuk ke dalam kantin. Ely terlonjak kaget.
“Sialan!” serunya. Sedetik kemudian mereka saling pandang. Blake memincingkan satu matanya penuh dendam kemudian Ely menunjukkan jari tengah kearahnya.
“Apa yang terjadi?” tanyaku heran.
“Kau akan mengerti sendiri nanti. Aku tidak akan menjelaskannya.” Jawab Ely singkat sambil menekan-nekan sendoknya ke arah nampan dengan kesal.
Aku dan Ely melanjutkan percakapan yang sempat terputus pagi tadi. Menurut ceritanya,  Ely berasal dari Brooklyn. Dia terpaksa pindah karena ayahnya ditugaskan di LES. Ayahnya bekerja di kantor imigran dan ibunya membuka toko peralatan dapur di dekat apartemennya.
Dia punya adik hiperaktif umur empat tahun bernama Tom dan seorang kakak bernama Nathan yang tampak enggan diceritakannya.
Ely seseorang yang menyenangkan. Banyak sekali bicara tapi dia sangat mendengarkanku saat giliranku bercerita. Mungkin karena ceritaku tidak terlalu ribet. Remaja korban perceraian dan pindah tempat tinggal, itu saja.
Sejauh pengamatanku, Ely sepertinya selalu sendiran. Waktu aku bertanya kenapa dia menjawab:
“Kau pasti tahu  betapa kerasnya dunia SMA kan? Nah, mungkin aku sedang menjadi korbannya saat ini. Tapi hei Julie, kau pasti tidak mau berteman dengan mereka yang hanya memikirkan gaya berpakaianmu dan seberapa banyak cat yang tumpah di kukumu kan?”
Aku menyetujuinya.
“Kau bilang tinggal di flat diatas toko?” lanjut Ely. “Kau punya rencana membuka usaha di sana?”
“Entahlah, berhasil mendapatkan flat itu saja sudah membuatku heran. Itu tempat terbaik yang bisa kami temukan di antara banyak tempat buruk yang harga sewanya mencekik leher kami. Kurasa kami belum punya rencana dengan lantai bawah.”
“Kau tahu, memiliki ruang kosong di LES dan tidak mempergunakannya untuk menghasilkan uang adalah hal yang sangat buruk. Eh, tentu aku tidak mengejekmu, cuma kau tahu kan kita berada di gerbang awal New York. Kau harus berusaha menghasilkan sesuatu sebelum pindah ke tempat sebenarnya.”
“Tempat sebenarnya?”
“LES cuma tempat persinggahan imigran. Orang-orang akan berada di sini untuk bekerja sampai mampu menyewa flat di kawasan Central Park. Tapi tentu jika mereka mampu bertahan di sini.”
Ucapan Ely sedikit menohok dadaku. Bukan karena dia salah bicara, tapi karena dia benar. Membuatku kembali cemas berada di kota ini. Segalanya begitu dipertaruhkan.
Aku menatap kearah wajahnya Ely yang pucat sambil berpikir.
“Ely, apa kau menyesal tinggal di sini?” Ely dengan cepat mendongak menatapku, matanya yang biru melebar kaget. “Maaf, aku tidak bermaksud…”
Ely tertawa. “Hey aku tidak sedramatis itu Julie, tenang saja! Aku memang ingin keluar dari kota ini. Aku tahu itu pasti akan kulakukan setelah lulus SMA dan bergembiralah kita berada di tahun terakhir masa ini.”
Ely benar, ini adalah masa terakhir masa SMA-ku. Aku harus bersenang-senang seperti lainnya. Tapi sejak berada di Ann Arbor, aku tidak tahu bagaimana cara bersenang-senang seperti remaja lainnya. Bertemu orangtuaku di rumah adalah hal yang horor untukku.
Sepuluh menit sebelum jam makan siang berakhir, banyak anak mulai turun dari kantin dan hanya meninggalkan beberapa anak saja. Aku hendak mengajak Ely menyusul yang lainnya ke kelas ketika aku melihatnya. Cowok yang terlambat di kelas geometri tadi berjalan masuk dengan wajah basah kuyup. Dia mengambil jatah makan siangnya kemudian duduk di satu meja kosong di seberangku.
Dia meletakkan pantatnya di kursi begitu saja tanpa susah-susah memandang ke seluruh kantin untuk menemukan temannya yang lain. Dia mulai makan dengan pelan. Wajahnya masih tampak mengantuk. Beberapa tetes air dari rambut basahnya menjatuhi nampannya.
Aku mengawasinya dari jauh sambil membatin, mungkin dia adalah korban kehidupan keras di SMA. Pendiam, pakaiannya tidak gaya dan tidak punya teman. Lima menit kemudian setelah menghabiskan makanannya dengan cepat, dia memandang ke arah dinding kaca di sebelahnya. Dinding yang memperlihatkan pemandangan kota. Terdiam termenung.
“Siapa dia?” tanyaku pada Ely.
Ely mengikuti pandanganku. “Oh, dia Sam. Kenapa?”
“Tidak ada.”
XXX
Menyusuri blok di Stanton Street yang sepi dengan pertokoan kemudian menyeberangi perempatan sampai kekawasan pertokoan Orchard Street. Kawasan paling ramai di LES. Ini adalah rute berbeda dari ruteku yang kuambil pagi tadi.
“LES tidak besar Julie. Jika kau mau berjalan dari flat ke sekolah tanpa bus dan mengganti tiap rute perjalanan setiap hari, aku jamin kau akan mengenal LES seminggu sejak berada di sini.” Saran Ely sewaktu kami berpisah di gerbang sekolah. “Tapi tentu jangan lupa memakai deodoran.” Tambahnya membuatku tertawa.
Mau tidak mau aku menyetujuinya. Aku harus mengenal lingkungan baruku dan mulai mencintainya. Lagipula dengan begitu aku bisa mengurangi ketergantunganku akan taksi sekaligus menghemat biaya transportasi.
Mum tentu saja sudah berada di flat dan tampak sangat lelah. Dia adalah perawat di rumah sakit kecil di tempat asalku. Sekarang dia menjadi perawat rumahan seorang wanita sebayanya yang lumpuh dan dilupakan suaminya, Grace. Diabetes menggerogoti tubuhnya sejak muda dan diperparah gangguan jantungnya. Grace adalah kenalan pasangan Joice dan mereka yang merekomendasikan Mum kepadanya.
“Grace sangat menyenangkan,“ ujarnya. “Ternyata dia senang sekali bercerita dan lucu. Heran, kenapa suaminya begitu tega meninggalkannya.” Ujarnya setelah pertemuan pertama kalinya dengan Grace.
Kami sedang berada di dapur kecil kami. Yang semua barang-barangnya adalah hasil pinjaman dari Mrs Joice yang baik hati. Mrs Joice menganggap peralatan dapurnya yang sudah kuno tidak akan pernah mendapatkan tempat di lingkungannya yang baru. Jadi lebih baik dia meninggalkannya saja di sini daripada repot-repot mengirimnya ke Chicago.
Mum berdiri membelakangiku, memakai celemek berbunga juga bekas milik Mrs Joice dan sedang mencuci gelas. Aku duduk di meja kecil di depannya. Meja yang sangat kecil dengan pelitur yang sudah berbocel-bocel tapi masih terlihat kokoh dengan sisa-sisa ukiran meja minum teh yang menawan.
Sejauh yang bisa kulihat, aku tahu aku akan makan makanan sisa kemarin malam ini. Aku tak menemukan secuilpun warna merah daging atau bulatan kuning telur atau bahkan warna pucat berpori kulit ayam. Tidak ada sayur-sayuran hijau segar atau semacamnya. Yang kulihat hanya separuh potongan roti, mustar, selada lembek sisa kemarin dan keripik kentang yang juga sisa kemarin. Semua sedang berjajar rapi di atas meja. Melenyapkan selera makanku.
“Maafkan aku,” ujarnya tiba-tiba. Dia menangkap pandangan mataku. “Aku belum tahu tempat untuk berbelanja bahan makanan yang murah Julie. Jadi hidangan malam kita hanya ini. Tidak apa-apa kan?” Mum menggigit bibir bawahnya.
Mungkin Mum bilang dia belum menemukan tempat murah untuk berbelanja tapi aku tahu pasti, dia belum punya uang lebih untuk membeli seseuatu yang enak untuk makan malam.
Aku mengangguk ke arahnya dengan yakin seperti aku tak pernah membenci selada lembek sebelumnya. “Tidak apa Mum, besok aku akan bertanya pada Ely. Mungkin dia bisa merekomendasikan tempat yang bagus untuk kita. Oh ya, bibi Nichols tadi pagi menelepon. Aku mengangkatnya sebelum berangkat ke sekolah. Dia bilang, dia hanya mencoba apakah nomor telepon flat ini berfungsi.”
“Benarkah?” Aku mengangguk. “Aku tahu dia mengkhawatirkan kita tapi dia selalu saja bercanda. Apa dia masih bertanya tentang pasangan Joice? Dia terbahak ketika mendengar ceritaku, menurutnya mereka pasangan lucu.” Sahutnya senang.

Dan sekali lagi aku menganggukkan kepalaku padanya. Bibi Nichols tidak terbahak, itulah kenyataan sebenarnya. Tapi dia menangis. Menangis sampai tidak bisa berbicara. Sehingga selama sepuluh menit aku harus berdiri bersandar di dinding dan berbicara terus di corong telepon untuk menenangkannya. Bibi Nichols sangat mengkhawatirkan kami.
lanjut bab 3